Saturday, December 19, 2009
SEPERCIK EMBUN DI UJUNG DAUN
Hidup ini terasa indah, sahabatku. Demikian seorang kawan karib pernah mengatakan ini padaku. Tapi saat ini, yang kutahu hidup ini terasa sempit dan tak adil untukku. Mengapa? Mengapa selalu kata itu yang terucap olehku. Tuhan telah memberiku berbagai karunia. Sampai saat ini aku masih diberi nikmat sehat dan pertambahan usia di sisa waktuku di dunia ini.
***
Purnama merekah, memburam di balik segumpal awan. Aku baru saja hendak menutup jendela kamarku mala mini. Tapi kuurungkan, ketika yang kurasakan hanya desiran angin malam yang membelai mesra wajahku. Dan beribu bintang yang bertaburan mulai bermunculan, menyingkap awan-awan putih. Menyatu dengan pesona purnama yang kini menyorotkan cahaya, menembus ke dalam kamarku yang temaram.
Aku berdiam dan merenung. Kilasan yang terjadi hari0hari sebelumnya tampak membayang di pelupuk mataku. Hidup ini memang tidak selamanya dihadapkan pada hal yang menyenangkan. Sebuah kelahiran pasti diakhiri dengan kematian. Sebuah pertemuan pasti ada perpisahan. Dan sebuah kesedihan pasti akan bertemu dengan kebahagiaan di suatu hari kemudian. Semua sudah ada penyeimbangnya. Tak ada yang perlu diragukan.
Kubuka catatan harian yang kutulis malam sebelumnya. Beberapa kata tampak memburam dan menjadi sebuah noktah yang menghitam. Ah, baru kusadari. Kemarin aku terlalu larut dalam kesedihan yang berkepanjangan, terlalu berlebihan. Rupanya titik-titik air mata itu jatuh menimpa tulisanku tanpa kusadari sebelumnya. Lembar-lembar itu tampak menggelembung karena lembab sebelumnya.
“Tuhan, ……
Aku tidak hendak menggugatmu dengan tulisanku ini.
Hanyalah sebuah catatan batin yang bisa kutulis ketika aku dalam kerapuhanku.
Aku selalu bertanya dalam hati. Bertanya kepada-Mu di malam-malam sunyiku.
Tuhan ..
Aku menginginkan setitik kebahagiaan dalam hidupku.
Tapi Engkau memberiku lebih dari yang kuminta.
Tuhan ..
AKu menginginkan sekuntum mawar merekah untuk menghiasi meja kerjaku.
Namun Engkau memberikanku sebuah taman yang luas, dipenuhi bunga beraneka warna,
yang menyejukkan pandangan mataku.
Tuhan ..
Esok hari aku inginkan sebuah pagi merekah dan menyambutku dengan sinar mentari di balik awan-awan putih.
Dan Engkau memberiku berpuluh-puluh pagi yang terindah yang pernah kusaksikan di setiap paginya. Tanpa pernah mempermasalahkan apakah di setiap pagi itu aku isi dengan rasa syukurku pada-Mu.
Tapi ketika aku meminta, Tuhan .. ijinkan aku memiliki cinta seorang pemuda yang datang padaku saat ini,
mengapa Engkau menahannya?
Oh, Ya Tuhanku ..
Betapa berartinya rasa ini untukku. Engkau tahu itu.
Cinta seseorang yang kucintai. Cinta seseorang yang kudambakan. Namun ternyata semua ini menjauh dariku.
Tuhanku ..
Ampuni aku, jika aku telah banyak mengeluh. Sementara Engkau tak pernah putus memberikan karunia-Mu. Ijinkan aku meresapi semua cobaanmu ini dengan hati yang berlapan dada.”
Aku menutup buku harianku. Mmmhuuuaah .. tiba-tiba rasa kantuk menyerangku. Kutatap wajah bulan yang bersinar terang. Menggantung sendirian di ketinggian malam. Kedip bintang yang tersenyum. Tuhanku, damaikan hatiku dengan semua ini. Perlahan kututup jendela kamarku. Bergelung di bawah selimut. Membiarkan sinar purnama masuk diantara celah-celah tirai jendela. Menerangi tidurku mala mini, menjemput mimpi.
***
Adalah seorang sahabat. Sebut saja namanya Saiful. Aku tidak pernah mengenalnya sebelum ini. Tak pernah terbayangkan di anganku wajahnya. Tak pernah terdengar di pendengaranku suaranya yang bening itu. Ketika aku mendapatkan sebuah catatan di surat elektroniknya. Biasa saja. Hanya sebuah sapaan yang ramah dan menyiratkan sebuah ajakan untuk menjalin silaturahmi. Sungguh sebuah obat yang mujarab, di kala hatiku sedang terobsesi untuk memiliki seorang, bahkan lebih banyak lagi sahabat. Orang-orang yang kuharapkan bisa menjadi mata air yang member kesejukan. Sebuah kebersamaan yang saling menguatkan dan mengeratkan.
Dia pernah mengatakan sesuatu yang menginspirasi kehidupan yang kujalani saat ini. Dan sebuah doa penghibur hati yang gundah, yang dikirimkan seorang temannya, kemudian dia mengirimkannya lewat pesan singkatnya.
“Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang bisa member manfaat bagi orang lain.”
Pesan itu menghenyak lamunanku. Diantara begitu banyak hal yang terjadi padaku, rasanya hal ini sangat terlupakan. Mengapa? Sebab aku merasa, aku terlalu banyak mengeluh. Terlalu banyak meminta sesuatu di luar kemampuanku. Terlalu banyak berharap hal yang sama dari setiap yang kulakukan. Ya, sudahlan aku menjadikan diriku seseorang yang member manfaat bagi orang lain? Aku tercenung lama memikirkannya.
Saiful, dengan kebersahajaannya menyeruak masuk. Menerobos pintu-pintu sempitnya fikiranku.
“Aku pernah mengalami masa-masa terburuk dalam hidupku, tulisnya. Kemudian sebuah cahaya menuntunku ke sebuah masa yang paling indah. Penuh kasih sayang dari Sang Pencipta. Aku merasa itu saat aku merasa menjadi orang yang paling berarti. Berdiri diantara sekumpulan anak-anak yang datang untuk mengaju dan mencari ilmu. Indah sekali.
Tapi langit tiba-tiba berubah mendung. Gelap dan mengusir warna cerah di langit biruku. Menjadikan sebuah badai topan memporakporandakan pondok kecilku. Aku kehilangan tempat bernaung. Ketika kusadari, semuanya telah menjadi puing-puing. Rata dengan tanah. Mungkin itu yang bisa kugambarkan. Mengapa sahabatku? tulisnya.
Sebab badai itu mendamparkanku kembali pada sebuah ruang gelap. Terkunci, tersekap, tanpa pernah kutahu dimana pintu itu berada. Aku bahkan telah lupa dan tak bisa membedakan antara siang dan malam. Sebab ruangan tempatku berada nyaris hanya sebuah ruang isolasi. Aku mendekam selam bertahun-tahun. Kembali pada keterasinganku. Terkadang menangis, merintih, berteriak, berontak. Tapi tak ada seorang pun yang mendengarnya. Bahkan sisa cahaya dalam hatiku hampir kehabisan minyaknya. Sumbunya telah hampir kering.
Kemudian aku melihatmu. Seperti setitik dian yang menyala diantara pandanganku yang berkabut gelap. Aku melihatmu bergaun putih dengan wajah yang berseri menghampiriku. Tanpa banyak kata menarikku keluar dari ‘penjara’ ini. Tanpa pernah kutahu. Tanpa pernah kusadari kapan kamu masuk, dan lewat pintu yang mana. Karena aku telah berputar-putar mencari arah pintu itu. Seketika itu aku merasa, kamu memang senagaja dikirim Tuhan untuk menjadi telaga tempatku melarutkan segala noda dan memcuci pakaianku yang telah lusuh dan menggantinya dengan sehelai kain putih, yang akan menjadi pakaian baruku.
Kamu adalah titik balik sebuah harapan. Sebuah keinginan. Sebuah kerinduan. Kamu adalah sebuah landasan tempatku lepas landas. Perlahan tapi pasti aku membangun kembali sebuah pondok kecil tempatku dulu bernaung. Dan kamu adalah tamu pertama di pondokku. Yang telah dengan tulus menjejakkan kaki putihmu di lantai pondokku. Meramaikanku dengantawamu, senda guraumu, dengan tutur kata yang mengandung harapan dan nasehat, kedamaian dan kesejukan.
Aku merasa seketika pondokku berada di tengah hutan yang lebat pohonnya. Namun aku tidak merasa kesunyian ataupun takut berada di dalamnya. Tidak pernah merasa kegelapan meski tak ada cahaya yang berpijar dari sebuah aliran listrik. Sebab kamu telah menjadikan dirimu sebuah pelita. Sebuah lentera yang tak pernah kehabisan minyaknya. Tetap bersinar dari petang hingga pagi menjelang.
Dan ketika aku membuka pagi pertama di pondok baruku, kamu seperti semburat jingga di ufuk. Yang member nuansa warna merah keemasan di kaki langit. Kamu tahu artinya? Jingga itu warna yang terasa ‘mewah’, menyala dengan sejuta pesona tersimpan di dalamnya. Kamu adalah perpaduan antara kecantikan dan keanggunan. Yang tersembunyi di balik senyummu.
Sahabatku, ..
Betapa aku sangat mengagumimu. Aku memuji setiap keindahan yang tersimpan di hatimu. Sebagaimana Tuhan telah menciptakan keindahan itu melekat di dirimu. Kamu telah menjadi mata air yang member kesejukan dari hulu sampai ke hilir. Kamu telah menjadikan ruang gelapku sebuah kawah Candradimuka, yang menjadikanku seseorang yang bisa lebih kuat menghadapi segala hal yang terjadi saat ini dan esok seterusnya.
Sahabatku, ..
Kamu seperti bidadari yang datang diantara harapan kecilku. Sungguh, hidupku terasa lebih indah sejak hadirmu ada di pondokku. Ini saat terindah yang pernah aku alami. Lebih indah dari sebelumnya. Mengalahkan segala kebahagiaan yang lainnya. Tangan dingin dan doamu telah membuatku kini merasa lebih dekat dengan Tuhanku. Tuhan yang selama ini telah aku lupakan. Tuhan yang telah memberiku hujan rahmat, hujan anugerah, yang terus-menerus. Kendati aku telah banyak melupakannya.
Sahabatku, ..
Terima kasih utnuk kesempatan mengenalmu. Kamu telah banyak menggoreskan lebih banyak manfaat sebagai seorang insane yang terbaik. Aku berharap dan berdoa, semoga hanya Tuhanlah yang bisa membalas setiap kebaikan yang telah kau berikan buatku.
Salam.
Saiful ……. “
Klik. Aku menekan tombol escape itu. Tertunduk. Terpaku menatap layar yang membiru itu. Subhanallah! Tuhanku .. selama ini aku telah menjadikan diriku seorang yang picik. Berpikir sempit. Aku selalu merasa menjadi orang yang tidak pernah berguna. Sehingga Engkau pun enggan hadir di hatiku. Aku telah salah menilai. Mungkin akulah yang telah menjadikan diriku seseorang yang melupakan Rabb-nya.
Ternyata hati ini, Kau bukakan mataku. Betapa yang dialami Saidul sahabatku jauh lebih berliku, penuh intrik, penderitaan dan sebuah dekadensi moral yang menjeratnya kehidupannya di masa lalu. Namun dia telah berhasil melalui gerbang itu dengan sebuah harapan baru. Keyakinan, doanya yang tak pernah putus, tutur katanya yang selalu bernada pembangun jiwaku, yang juga telah mengetengahkan sebuah kalimat yang indah. Yang baru kusadari maknanya saat ini.
“Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang bisa memberi lebih banyak manfaat bagi orang lain.”
Sungguh manis, indah dan dalam artinya. Dia telah banyak menjadikan diriku sebagai sumber inspirasi dan pembangun jiwanya. Dan aku? Hari ini, aku ingin mengatakan hal yang sama padanya.
“Saiful, sahabatku ……
Terimalah salam persahabatan, hormatku, terima kasihku, dan penghargaanmu atas diriku. Sebagaimana aku telah menjadikanmu sebagai inspirasiku. Sebagai penguat, pengikat, dan penyembuh bagi luka yang kurasakan. Menjadikanku sebagai teman seiring yag telah banyak memberiku suasana rumah yang nyaman. Dipenuhi dengan candamu yang konyol tetapi banyak mengundang tawa, senyum dan sesekali air mata. Namun aku yakin airmata ini adalah airmata kebahagiaan.
Betapa Tuhan telah mengembalikan semua airmata kesedihanku menjadi airmata bahagia. Mengubah setiap rasa sakitku sebuah terapi kesembuhanku. Membuat setiap ujian, cobaan, dan nikmat menjadi hujan rahmat, hujan cinta yang dikirim untukku lewatmu. Sesaat setelah Kau pertemukan aku dengan sebuah rumah yang bernama persahabatan, dan kebersamaan. Suatu keadaan dimana sebuah nasihat menjadi hal yang lebih banyak mendatangkan rahmat-Nya.
Nasihat bagi siapa? Bagi sesama saudara dan orang banyak. Harapan membuahkan amal, upaya sekuat tenaga, pengorbanan, jihad dan keteguhan. Dan pudarnya keinginan adalah petaka yang paling dahsyat.
Saiful .. semoga Tuhan melindungimu selamanya.”
***
Kumatikan layar komputerku. Berdiri dan membenahi diri menyambut pagi ini. Sebuah tugas baru menanti. Kutatap langit pagi ini. Biru jernih, bersapu awan cirrus. Tunas-tunas daun mulai menyembul diantara dahan jambu air di depan rumah. Pagi ini terasa dingin menyejukkan. Basah. Hujan kecil telah menjadikan bumi ini bernafas lagi.
Setitik embun bergulir diantara daun-daunnya yang hijau. Menggantung di ujung daun. Bening, bagai permata. Sebening embun itu, sesejuk embun itu, seringan embun itulah harapku pagi ini.
Tuhan ..
Jadikan aku seseorang yang senantiasa mensyukuri nikmat dan karunia-Mu.
Amin ya robbal alamin.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Web Teman
Grab this Widget ~ Blogger Accessories Custumized by irmaaryasathiani
No comments:
Post a Comment