… Sebuah catatan di Bulan Ramadhan 1429 H …
Pagi itu saya hendak berangkat ke kantor. Seperti biasanya, saya berjalan kaki karena jarak rumah ke kantor hanya sepuluh menit saja. Sambil menikmati langit pagi yang saat itu membiru jernih dengan sapuan awan cirrus berarak pelan. Sebelum mencapai kantor, saya harus melewati keramaian pasar yang letaknya persis berada di tengah-tengah jarak dari rumah ke kantor. Biasanya banyak penarik becak yang menawari saya jasanya dan beberapa pedagang kue yang berderet di sepanjang jalan.
Ada satu hal yang selalu menarik perhatian saya. Di sudut sebuah lapak pedagang pisang, biasanya duduk berjongkok seorang pak tua bertopi dengan tas pinggang melingkarinya. Hanya selembar plastik sebagai alas duduknya. Dan sebuah mangkok plastik kecil berisi kepingan uang logam atau kertas, dari beberapa pembeli yang lalu lalang dengan belanjaan yang penuh di tangan. Senyum si pak tua itu selalu terkembang, berapa pun nilai uang recehan yang masuk ke dalam mangkok plastiknya.
Satu hal yang terbayang di benak saya saat itu adalah .. apakah dia seorang pengemis atau tunawismakah? Kalau saya perhatikan, pakaian yang dikenakannya cukup rapi dan bersih. Sepotong kemeja lengan panjang dan celana panjang, yang meskipun warnanya sudah agak pudar, tapi akan terkesan rapi untuk seorang pengemis. Dan lagi pak tua itu tampak akrab dengan beberapa pedagang di sana. Kadang ia tampak sedang bercanda dengan pemilik lapak pisang itu.
Pernah pada suatu hari saya sedang berbelanja sayur di sana, pak tua itu sedang berjongkok di dekatku dan terlibat pembicaraan dengan seorang tukang becak. Saat itu saya mengira dia adalah seorang pedagang kaki lima juga. Dia sempat menyapa dan melempar senyumnya pada saya. Tapi hari itu saya melihat sesuatu yang waktu itu luput dari perhatian saya. Kedua kaki pak tua itu tampak mengecil dan sangat lemah, mungkin karena itulah aku sering melihatnya selalu duduk berjongkok dan berjalan dengan kedua tangan beralas sandal menumpu beban tubuhnya. Ah, ., apakah pak tua itu terkena penyakit polio atau bagaimana, saya tidak tahu.
Dan yang lebih mengejutkan adalah malam ini. Seperti malam kemarin, saya menyempatkan diri untuk shalat tarawih di Mesjid Agung yang terletak di tengah-tengah kota. Tepat di depan kantor bupati dan gedung perwakilan rakyat. Ketika saya masuk ke dalam mesjid, persis di bawah tangga yang menuju ke tempat jamaah wanita, saya melihat seseorang yang sudah tidak asing lagi. Pak tua itu …!! Ya, dia tengah duduk bersila dengan tubuh tersandar di pilar. Berpeci haji putih, berkain sarung dan sorban merah melingkar di pundaknya. Khusyu dengan doanya. Beberapa kali saya mengucek-ngucekkan mata. Seakan tak percaya. Dalam hati bertanya bagaimana pak tua itu bisa sampai berada di sini, dengan keadaannya yang .. ah, mungkin saja sebuah becak mengantarkannya di sini. Bisa saja, kan? Hingga saat tarawih usai, saya masih melihat pak tua itu duduk bersila dengan kedua tangannya yang tengadah.
Subhanallah .. dalam hati saya berdecak kagum. Mungkin pak tua yang selalu saya temui setiap pagi di pasar itu memang seorang pak tua yang pengemis, yang mengharap sedikit rezeki dari setiap pembeli yang berlalu lalang di pasar. Meski untuk sekeping logam limaratus atau selembar ribuan sisa dari uang belanja setiap pembeli yang masuk ke dalam mangkok plastiknya. Selalu dari lisannya terucap, Alhamdulillah .. dan kemudian sederet kata yang bernilai doa untuk setiap keping logam yang diberikan si pemberi.
Mungkin di mata saya saat itu yang terbayang hanyalah perasaan iba dan prihatin atas fisiknya yang memang memiliki kekurangan. Tapi malam ini saya merasa tidak berarti apa-apa dibandingkan pak tua itu. Yang meskipun dengan keadaannya, entah seorang tunawismalah, pengemislah .. atau apapun, tapi dia tetap menyadari keberadaannya sebagai seorang hamba Alloh yang semestinya menjalankan ibadah sebagai bentuk pengabdian seorang hamba kepada Sang Khalik. Tak ada batas yang membedakan keberadaan dan derajat seseorang di mata Sang Pencipta. Bahkan di mesjid ini, sebuah bangunan dimana kalimat Alloh ditinggikan dan dilisankan tiada henti, yang bagaimanapun megahnya .. tak pernah tertutup untuk siapa pun yang datang mengharapkan rahmat dan karunia-Nya.
Ah, malam Ramadhan yang sempurna. Bukankah memang seharusnya demikian? Setiap Ramadhan tiba adalah saatnya bagi semua insan menundukkan hawa nafsunya. Bukan hanya dengan menahan diri dari lapar dan haus. Tapi juga kepedulian mengenai orang-orang di sekitar kita yang hidup papa dan nestapa. Alhamdulillah, ya Rabbi .. malam ini saya mendapat pelajaran yang sangat berharga. Saya pernah mendengar ini dari guru mengaji saya, kemiskinan dan kefakiran terkadang membawa seseorang pada kekufuran. Tapi mungkin tidak berlaku untuk pak tua ini. Yang selalu saya temui setiap malam di mesjid ini, bersama-sama melaksanakan tarawih meski dalam keadaan duduk. Bahkan mungkin permohonan yang dia panjatkan pada Sang Pencipta pun lebih mulia dari apa yang saya panjatkan.
Pagi ini saya kembali akan memulai aktifitas di kantor. Dengan berjalan kaki, melewati kembali jalanan pasar yang hiruk pikuk dan dering becak yang bersahutan. Dan selalu akan saya temui senyum si pak tua yang berjongkok di sudut lapak dengan kedua tangannya yang memeluk lutut. Seolah tak pernah ragu dengan apa yang akan terjadi, berapa keping dan berapa nilai uang recehan yang dia peroleh hari ini. Namun yang pasti, saya yakin di dalam hatinya selalu bertasbih untuk sebuah kehidupan dan kesempatan untuk bisa mengubah nasibnya menjadi lebih baik. Menjadi seorang pengemis mungkin bukanlah sebuah kehidupan yang diinginkannya.
Ah, pak tua .. ada yang menggenang di sudut mata saya saat ini, bahkan saya belum sempat menanyakan siapa nama laki-laki renta itu dan dimana dia tinggal. Tapi besok, mudah-mudahan saya mendapatkan kesempatan itu.
No comments:
Post a Comment