Saturday, December 19, 2009

OASE RAMADHAN


Siang yang terik. Awan-awan menggumpal di angkasa. Aku berjalan, mengayuh langkah letih ini diantara panas dan udara yang membawa debu. Titik- titik peluh mengembang di pelipisku. Beberapa lapak tampak menutup dengan kain terbebat di sekelilingnya. Ada keriuhan kecil di dalam sana. Bunyi dentingan piring dan sendok, serta gurauan pengunjung dan pemilik lapak tersebut.

'Mak, .. Aku lapar,' rintih puteri kecilku yang berjalan terseok-seok di sampingku. Wajahnya memucat dengan titik-titik peluh di sana. Ah, anakku.. Sabar ya, hiburku dalam hati. Kuseret langkah ini semakin cepat menghindari keramaian kecil itu. Ah, anakku. Emak tahu kamu mengharapkan sepiring nasi dingin dengan sedikit lauk pengganjal perutmu yang merintih sejak pagi tadi.
'Maak.. Aku lapar, mak!' rintihnya lagi. Wajahnya yang lugu mengundang ibaku, matanya beriak-riak. Kuusap rambutnya yang hitam kecoklatan. Ah, ya Alloh..! Apa yang barusan aku lakukan? Rintihku. Aku menepi di sudut jalan sepi, diantara ruko-ruko yang hangus terbakar kemarin malam. Di empernya aku duduk berjongkok. Kuraih benda hitam kecil dari buntalan saputanganku yang terselip di dalam bakul gendonganku. Dengan tangan gemetar kubuka benda itu.

Sebuah KTP bertuliskan Anida Rahmah. Seorang ibu rumah tangga, tinggal di sebuah komplek perumahan elite di kota ini. Lalu aku mendapati banyak sekali kartu kredit diantara sakunya. Dan Masya Alloh! Sejumlah uang tunai berwarna biru dan merah memadatinya. Hmm.. Belum pernah aku melihat uang sejumlah itu.

Tidak, tidak.. ! Aku tak akan mengotori tanganku dengan sesuatu yang bukan milikku. Aku bukanlah orang yang mudah tergiur dengan kesenangan semu. Aku adalah seorang ibu yang hanya menginginkan anakku kelak masuk surga karena akhlakku. Ya Alloh! Tapi .. Tapi ..

'Bodoh kau, Salamah! Ambil saja uang itu! Buang saja dompet itu di tempat sampah, tak akan ada yang tahu kalau kamu yang mengambilnya!' bisik suara yang lain.
'Tidak, Salamah! Jangan kau ambil uang haram itu! Istighfar, Salamah! Tidakkah kau ingat wajah ibu tadi yang memucat dan kebingungan mencari benda yang ada di tanganmu? Dia juga seorang ibu sepertimu. Dia juga ingin anaknya tetap mendapat tempat di hatinya. Bayangkan, wajah dan tangis bayi si ibu itu yang kelaparan menantikan ibunya membelikan bubur susu untuknya! Dan si ibu itu pulang dengan tangan hampa, karena tak dapat membeli bubur susu untuk bayinya! Ingat, Salamah. Engkau adalah seorang Ibu yang baik. Engkau selalu memintakan kesembuhan untuk suamimu, tak pernah lupa menyisiri dan mengepang rambut puterimu. Istighfar, Salamah!' suara itu terdengar lebih lembut.

‘Salamah, kita memang orang yang miskin harta dan kekuasaan. Tapi kita bukanlah orang yang miskin hati.’ Kata-kata itu terngiang kembali. Ah, suamiku.. aku tersedu.
‘Aku tidak pernah melihat kecurangan apapun darimu, tidak pula kebohongan. Kamu adalah wanita sederhana yang kunikahi karena kejujuran dan welas asihmu, karena kekayaan batinmu, yang selalu memintakan ampunan dan doa-doa bagiku jika hendak pergi bekerja. Kamu tidak pernah mengeluh meski kita hidup di tengah serba kekurangan ini. Kuatkan hatimu, Salamah. Alloh pasti akan menolong kita.’ suara itu terdengar lebih mirip seperti bisikan di telingaku, begitu nyata dan dingin kurasakan sekujur tubuhku. Dan aku menggigil karenanya.

***

Toko grosiran Babah Ong saat itu sedang ramai sekali. Hiruk pikuk keramaian di pasar dan lalu lalang kendaraan berbaur, menciptakan kebisingan. Di salah satu sudut lapak, aku biasa menggelar opak ketan daganganku. Tapi siang itu tak ada satupun pengunjung yang datang untuk membeli. Sementara hari semakin beranjak siang, dan aku membutuhkan sejumlah rupiah untuk membawa pulang resep obat untuk suamiku. Belum lagi puteri kecilku, sedari tadi dia merengek di sampingku. Mungkin karena sejak pagi tadi hanya sarapan bubur beras dingin tanpa lauk yang mengganjal perutnya. Ditambah hawa udara pasar saat itu yang menyengat. Sinar matahari yang menyambar atap asbes lapakku siang ini memang terasa sangat membakar.

Sudah hampir setengah hari aku menggelar opak ketan daganganku, namun belum ada tanda-tanda pembeli satu pun. Aku harus memeras otakku agar sore ini bisa menyiapkan hidangan berbuka puasa yang bergizi dan menebus resep obat untuk suamiku yang sedang sakit. Sudah seminggu ini ia libur menarik becaknya. Dengan berat hati aku mengemasi daganganku, mungkin ada baiknya aku berjalan berkeliling perumahan. Mudah-mudahan saja ada yang mau membeli opak ketanku.

Pada saat aku hendak meninggalkan lapakku itulah, tanpa sengaja si ibu tadi menabrakku. Dengan wajah bersalah ia tak hentinya meminta maaf, dan ikut berjongkok memunguti opak-opak yang berjatuhan. Setelah itu dia merapikan dan membersihkan pakaiannnya dari debu yang menempel di tuniknya. Dengan ramah dia pamit dan berlalu meninggalkanku. Saat aku hendak berdiri itulah, aku melihat benda hitam berukuran segiempat tergeletak di tanah. Dompet si ibu tadi! Aku melihat foto kecil dirinya dengan seorang bayi laki-laki yang montok dan menggemaskan di dalamnya. Tampak bahagia sekali wajahnya.

Aku menutup wajahku. Kubenamkan diantara kedua lututku. Terisak-isak, diringi rintihan anakku yang lapar. Mungkin aku telah mendzalimi tidak hanya ibu sang bayi itu, tapi juga diriku sendiri. Tak ada cara lain, aku harus mengembalikan dompet ini pada pemiliknya. Dia pasti sedang kebingungan. Jika suaminya seorang yang baik, mungkin ia akan menanggapinya dengan bijak. Namun jika suaminya seorang yang pemarah, apa yang akan terjadi pada ibu itu?

Ah, ya .. tapi bagaimana dengan puteriku? Dengan suamiku yang terbaring di bilik lembab kami? Ah, aku hanya bisa pasrah. Semoga saja sesudah aku kembalikan dompet si ibu itu, aku bisa mendapatkan seorang pelanggan yang mau membeli opak ketan daganganku.

‘Salamah, sungguh kau bodoh jika kau turuti niatmu. Bagaimana kamu bisa membiarkan kesempatan emas berlalu di depan mata,’ suara dari sisi kegelapan itu terus berdengung.

‘Tidak, Salamah. Kamu sudah memilih apa yang diridhai-Nya, dan menjauhkan dirimu dari laknat-Nya. Bersegeralah, Salamah. Semoga Alloh memberimu kemudahan hari ini,’ suara penuh kelembutan itu berbisik penuh kesejukan.

Kuseka airmata yang menggenang di sudut-sudut mataku, lantas bangkit dan berdiri. Kutatap wajah lugu anakku. Kupandangi bola matanya yang hitam bening seperti mata kelereng. Kuusap lembut rambutnya, dan titik-titik keringat yang membasahi kening dan pelipisnya. Kukecup ia penuh kelembutan dan kasih sayang. Kudekap dia dalam tangis keharuan. Terbayang sudah wajah suamiku yang terbaring senyum ke arahku.

***
Siang hampir mendekati senja. Matahari telah agak berkurang kegarangannya. Sinarnya menyorot lembut dan hangat di punggungku. Aku tersenyum saat kulangkahkan kakiku menjuju rumah besar itu. Senyum ramah Bu Anida menyambutku di pintu. Ia membiarkanku merasakan lantai rumahnya yang dingin menyejukkan. Bayi itu jatuh tertidur di pelukannya, dalam kedamaian dan kasih sayangnya.

Ah, aku bersyukur telah dipertemukan dengan seorang wanita saleha sepertinya. Subhanallah! Tak ada caci atau makian yang terlontar dari lisannya saat dompetnya aku kembalikan. Dengan penuh syukur dia menunjukkan rasa terima kasihnya padaku.

Dan yang lebih membuat dadaku terasa sesak adalah ketika tangannya yang putih mulus menyentuh rambut anakku yang kelelahan, seraya berkata,’Ibu, puteri ibu cantik sekali. Semoga kelak menjadi anak yang saleha seperti ibu.’ Airmataku berderai teramat deras. Terisak-isak di bahunya yang menebar aroma harum. Tak lama keluar seorang gadis berjilbab dengan membawa nampan berisi air putih dan dua piring hidangan yang lezat.

‘Ibu, maafkan saya. Tapi saya melihat ibu dan puteri ibu sangat keletihan. Saya memiliki sedikit makanan untuk mengganjal perut,’ ujarnya penuh keramahan.
‘Terima kasih, Neng. Maafkan .. tapi ibu sedang shaum. Biarlah cukup puteri saya saja yang menerima hidangan yang Neng berikan. Karena sejak pagi tadi saya hanya bisa memberinya semangkuk bubur dingin.’ Wanita cantik di depanku berdecak kagum.

‘Subhanallah .. hati ibu amat mulia. Maafkan saya ya, bu. Iya .. biarkanlah puteri ibu menyantapnya. Kasihan, dia pucat sekali.’ Dia kembali mengusap-ngusap rambut puteriku yang tampak lahap menyantap makanan siangnya. Sementara aku hanya bisa menatapnya dengan wajah berurai air mata. Ya Alloh .. Alhamdulillah, gumamku.

Senja ini teramat baik. Rasanya aku mendapatkan kemurahan dan keberkahan yang tiada hentinya dari Sang Rabb. Wanita itu bukan hanya cantik, tapi memiliki hati seperti bidadari surga. Dia membekaliku sejumlah uang untuk membelikan resep obat suamiku. Tidak hanya makanan untuk bekal berbuka puasa yang kuterima dari tangan dinginnya. Tapi juga semua dagangan opak ketanku diborongnya habis. Selain karena masih merasa bersalah karena telah menumpahkannya tadi, menurutnya suaminya sangat menyukai opak ketan yang aku jual. Kebetulan seminggu setelah ini, mereka berencana pulang ke Surabaya, tempat orang tuanya tinggal. Alhamdulillah .. alhamdulillah .. tak hentinya aku mengucap syukur.

Di teras rumahnya di melepas kepergianku dengan senyumnya. ‘Hati-hati ya, Bu. Sampaikan salam saya untuk suami ibu. Semoga Alloh segera memberikan kesembuhan baginya. ‘
‘Amin, Neng .. ibu permisi pulang. Semoga Alloh senantiasa melimpahkan keberkahan dan keselamatan bagi Neng sekeluarga,’ jawabku terbata-bata.
‘Amin, bu ..’ dia mengaminkan doaku.

Ya Alloh.. terasa ringan langkahku saat meninggalkan rumah besar yang bertaman luas itu. Senja ini senja yang barokah. Puteriku melonjak-lonjak kecil di sisiku. Celotehannya terdengar sepanjang perjalananku. Di muka sebuah mushola, kuhentikan langkah. Kuambil air wudhu yang sejuk membasuh wajahku. Aku raih bungkusan kecil yang berisi rukuhku yang sudah memudar warnanya. Sesaat aku tenggelam dalam pertemuan rahasiaku dengan Sang Rabb. Dinginnya lantai mushola tidaklah sedingin hatiku saat kupanjatkan permohonan panjangku pada-Nya.

‘Ya Alloh ..
Engkau Maha Melihat Lagi Maha Mendengar doa hamba-Mu. Ampunilah segala dosa-dosaku. Ampunilah segala kekhilafanku. Sungguh, Engkau tidak pernah membiarkan orang-orang yang Engkau kehendaki berada dalam siksa-Mu. Karena sesungguhnya siksa-Mu amat pedih.
Ya Alloh ..
Engkau telah menghindarkan aku dari kemurkaan-Mu dan satu hari dimana tidak ada pelindung sebaik perlindungan-Mu. Puji syukur kepada-Mu yang telah menjadikan keterbatasanku sebagai anugerah dan bersabar serta menerima segala yang aku peroleh dari-Mu dengan hati yang lapang.
Ya Alloh ..
Sembuhkanlah suamiku. Berikanlah dia kebaikan dan keselamatan. Tetapkanlah dia menjadi hamba-Mu yang salih, menjadi imam untukku di dunia dan akhirat. Jadikanlah dia sebagai ladang ibadahku dan perkenankanlah aku menjadi bidadari yang mendampinginya di surga. Dan jadikanlah puteriku permata hidupku yang membawa kebahagiaan dan keselamatan bagi kami.
Amin ya robbal alamin.’

Kututup doaku dengan limbahan air mata keharuan. Menyeruak dinding-dinding kalbuku yang merindukan kesejukan. Kulihat matahari telah tergelincir beberapa galah. Jingga bersemburat di langit yang membias dalam warna biru keemasan dan hamparan awan laksana bulu-bulu anak domba yang digembalakan Nabi Musa di padang rumput. Bergegas kuseret langkah menuju gubuk kecilku. Matahari hampir tenggelam. Di bakul gendonganku telah tersimpan bekal untuk berbuka dan sedikit perbekalan untuk mengisi dapur kami seminggu ke depan. Tak lupa obat yang kuharap bisa meringankan sakit suamiku.

Ya Allah .. Ramadhan Mubarak, Ramadhan yang membawaku kepada kesucian hati. Betapa hidup dengan segala keterbatasan terasa lebih indah saat kebahagiaan hidup di bawah langit dan hujan kemurahan-Mu, dibandingkan dengan keberlebihan yang mendatangkan kehampaan bagi jiwa dan menjauhkan rahmat-Mu.


Tasikmalaya, 8 September 2009
 … Sepenuh cinta untuk abangku, terima kasih telah menjadikan Ramadhan tahun ini terasa begitu istimewa. Amin ………

No comments: